top of page
Cari

Siti Nurbaya Bakar: Pembangunan Tidak Boleh Berhenti Atas Nama Zero Deforestasi

To read this article in English, click here


Belakangan ini keputusan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019-2024, ini banyak dikritisi oleh aktivis lingkungan terkait dengan cuitan di media sosial yang menimbulkan pro dan kontra. Seperti yang diketahui telah dilaksanakan COP26, perhelatan perubahan iklim yang mengumpulkan ratusan pemimpin duniadi Glasglow tanggal 31 Oktober – 12 November 2021. Salah satu agenda yang dijelaskan oleh beliau melaui cuitannya yaitu FoLU Net Carbon Sink yang tidak berarti sama dengan zero deforestation.


One of the agendas that she explained through her tweet was the FoLU Net Carbon Sink 2030, which does not mean zero deforestation.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pernyataan Siti Nurbaya Bakar di Twitter

Sumber: Twitter @SitiNurbayaLHK [1]


Siti Nurbaya, dalam cuitannya juga mengungkapkan bahwa konsep zero deforestation melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment serta membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.


Apakah hal ini benar?


Mari bahas makna dari deforestasi terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deforestasi adalah kegiatan penebangan kayu komersial dalam skala besar. Di Indonesia, tingginya angka deforestasi sangat berhubungan erat dengan pembangunan untuk konversi pertanian dan pertambangan. Deforestasi memiliki beberapa dampak negatif seperti berkurangnya daya serap tanah, erosi, banjir hingga tanah longsor [2].


Apabila Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pejabat yang seharusnya menjaga lingkungan dan hutan, terus menggiatkan pembangunan dengan melakukan deforestasi, tak hanya mengecewakan tetapi juga bertolak belakang dengan janji-janji komitmen Indonesia dalam mitigasi krisis iklim.

deforestasi adalah kegiatan penebangan kayu komersial dalam skala besar
Deforestasi

FoLU Net Carbon Sink tidak dapat dijadikan pembenaran sebagai solusi atas kegiatan emisi GRK terutama emisi dari bahan bakar fosil. Hal ini karena karbon yang diserap oleh pohon bersifat dinamis, yang dikenal sebagai siklus karbon. Sementara, karbon yang tersimpan dalam bahan bakar fosil bersifat statis sehingga tetap terperangkap di atmosfer selama ribuan tahun. Ini berarti hutan tidak akan pernah bisa menghilangkan atau mengimbangi emisi dari sumber fosil.

Sumber: Roya Ann Miller di Unsplash [3]


Mencegah deforestasi akan mencegah karbon dioksida ke atmosfer, mengganti energi fosil mencegah pengikisan atmosfer akibat dari emisi statis. Jadi, menanam pohon, rehabilitasi, restorasi saja tidak cukup sebagai pencegah krisis iklim karena ia hanya menyerap siklus karbon hutan [4].


Apakah ada solusi antara pembangunan dengan deforestasi?


Pembangunan skala besar untuk kesejahteraan rakyat, tanpa adanya upaya penerapan lingkungan hidup yang sehat dan layak huni, serta pengembangan dari sumber daya manusia yang baik hanyalah angan-angan semata. Titik tengah antara values pembangunan dan deforestasi harus diselaraskan. Sudut pandang pembangunan harus dievaluasi terhadap kesejahteraan masyarakat sekaligus dengan lingkungan hidup. Indonesia bertanggung jawab membangun, namun tentu saja dengan kaidah-kaidah pelaksanaan dalam nilai-nilai sustainability.


Deforestasi terencana yang sudah berjalan selama ini oleh pemerintah seharusnya dilakukan dengan penataan ulang sistem hidrologi di hutan. Hal ini berkaitan dengan perubahan konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan yang digunakan untuk lahan perkebunan, galian tambang, kebutuhan tempat tinggal, infrastruktur, serta pengembangan kegiatan ekonomi. Kebijakan yang mengatur deforestasi harus secara jelas dan represif agar alih fungsi hutan terencana dengan langkah preventif dan insentif yang tepat [5].

 
 

Sumber [S]:



Comments


bottom of page