top of page
Cari

Panduan Singkat Pertanian Vertikal

To read this article in English, click here!


Salah satu tantangan pada pertanian perkotaan (urban farming) adalah terbatasnya lahan yang dapat digunakan untuk pertanian di perkotaan. Bagaimana jika kita ingin membuat urban farming di rumah kita sendiri tetapi kita hanya punya lahan yang sangat sedikit? Hal yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan lahan terbatas yang kita punya dengan metode pertanian vertikal.

Pertanian vertikal adalah pertanian yang dilakukan secara vertikal. Hehe, kaget ya? 😉

Tapi beneran. Metode ini dilakukan untuk memanfaatkan lahan yang kita punya untuk memproduksi tanaman sebanyak-banyaknya dengan menumpuk tanaman secara vertikal. Pertanian jenis ini terus meningkat popularitasnya karena juga memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh pertanian konvensional. Saat dilakukan dengan tepat, pertanian vertikal dapat mengurangi penggunaan air, meningkatkan jumlah panen di suatu tempat, dan mengurangi hingga menghindari penggunaan herbisida, pestisida, dan fungisida [1]. Terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan jika kita ingin membuat pertanian vertikal kita sendiri di rumah.



Hydroponic

Foto oleh BrightAgrotech di Pixabay


 

Pilih tanaman yang tepat

Hal pertama adalah kita perlu memilih tanaman apa yang ingin kita tumbuhkan di pertanian vertikal kita. Pilihannya tentu lebih terbatas daripada pertanian konvensional. Beberapa tanaman yang biasanya digunakan pada pertanian vertikal adalah sayuran hijau, tomat, bunga-bungaan, tanaman rempah, serta microgreen [2]. Pemilihan ini sebenarnya bergantung dengan tujuan kita membuat pertanian vertikal. Untuk penggunaan domestik, kita bisa memilih tanaman apa yang ingin kita makan atau gunakan di dapur. Untuk penggunaan komersial, pilihan kita lebih bergantung pada kondisi pasar lokal.



Pilih media tanam

Menumbuhkan tanaman di pertanian vertikal dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis media pertumbuhan. Media-media tersebut di antaranya adalah tanah, hidroponik, aeroponik, serta akuaponik [2,3]. Tentunya, setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan serta kompleksitasnya masing-masing. Tanah merupakan media yang paling umum digunakan pada kultivasi tumbuhan, biasa digunakan pada pertanian konvensional. Tanah akan menyediakan nutrisi, air, serta tempat bertumbuh bagi tanaman. Metode ini mudah untuk digunakan tetapi membutuhkan lebih banyak sumberdaya pada herbisida, pestisida, dan fungisida.

Hidroponik menggunakan air sebagai media kultivasinya. Sebagian dari akar tanaman terendam di dalam aliran air yang mengandung nutrisi bagi tanaman dan sebagian lainnya dibiarkan berada di atas permukaan air untuk keperluan aerasi. Metode ini menggunakan air yang lebih sedikit tetapi lebih kompleks dibandingkan dengan penggunaan medium tanah. Penggunaan energi relative lebih besar karena digunakan pompa untuk mengalirkan larutan nutrisi. Terdapat beberapa parameter yang perlu dikontrol pada aliran air/nutrisi seperti pH, konsentrasi nutrisi, dan oksigen terlarut untuk memastikan perolehan sebesar-besarnya dari pertanian ini.

Aeroponik secara teknis tidak menggunakan media pertumbuhan apapun. Akar tanaman tersuspensi di udara dan dibiarkan di suatu ruangan dengan kelembapan 100%. Nutrisi diberikan dengan menyemprotkan cairan nutrisi setiap beberapa waktu. Metode ini menawarkan aerasi yang lebih baik karena ketidakhadiran media pertumbuhan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, penggunaan metode ini memerlukan pengetahuan serta teknologi untuk mendapatkan hasil yang baik.

Metode terakhir adalah akuaponik – sebuah metode gabungan atara akuakultur (atau perikanan) dan hidroponik. Input nutrisi bagi hidroponik datang dari sistem akuakultur, sedangkan input nutrisi bagi akuakultur datang dari pakan ikan. Ikan pada akuakultur kemudian akan mengeluarkan kotoran yang kaya akan nitrogen. Nitrogen tersebut kemudian dikonversi menjadi nitrogen yang dapat diserap tanaman oleh mikroba. Limbah akuakultur tersebut kemudian dialirkan ke sistem hidroponik sebagai aliran nutrisi bagi tanaman. Penggunaan metode ini dapat menambah produk lain dalam bentuk ikan yang dipelihara di sistem akuakultur. Akan tetapi, kompleksitas metode ini sangat tinggi karena membutuhkan pengetahuan yang dalam pada hidroponik dan akuakultur serta bagaimana integrasinya untuk dapat menjalankan sistem akuaponik.


Jika dirangkum, berikut adalah rangkuman kelebihan dan kekurangan untuk setiap media pertumbuhan.

Media Tanam

Kelebihan

Kekurangan

Tanah

(+) Sederhana

(+) Mudah dipelajari

(-) Butuh sumber daya lebih

Hidroponik

(+) Tumbuh lebih cepat

(+) Lebih tahan terhadap hama

(-) Relatif lebih kompleks

(-) Membutuhkan pemahaman terhadap parameter nutrisi yang perlu dikontrol

(-) Penggunaan energi lebih besar

Aeroponik

(+) Kebutuhan ruang lebih sedikit

(+) Tumbuh lebih cepat

(+) Lebih tahan terhadap hama


(-) Relatif lebih kompleks

(-) Membutuhkan pemahaman dan teknologi untuk pemberian nutrisi yang sesuai


Akuaponik

(+) Input minimal

(+) Produk yang didapatkan lebih banyak (produk akuakultur dan hidroponik)


(-) Relatif lebih kompleks

(-) Membutuhkan pengetahuan lebih dalam pada hidroponik serta akuakultur

(-) Penggunaan energi relative besar


 

Kesimpulan

Sebenarnya, itu saja. Dua hal di atas merupakan dua hal yang secara minimal kita pilih dan pikirkan sebelum kita bisa memulai. Pertanian vertikal merupakan metode baru dari pertanian perkotaan yang mungkin bisa menjadi solusi bagi ketahanan pangan dan pertanian yang berkelanjutan. Kita hanya butuh waktu untuk mengembangkan sistem pertanian vertikal kita yang dapat memberikan kita keuntungan dan dapat dilakukan dengan mudah oleh banyak orang. Kalau Anda merasa ragu untuk membuat pertanian vertikal kamu sendiri karena merasa kurang pengalaman, maka yang Anda perlukan adalah pengalaman itu sendiri. Santai saja, kita bisa belajar dari kesalahan kita sendiri bukan? Jadi, tunggu apalagi? Yuk tanam bibitnya, ambil peralatannya, dan mulai kita susun pertanian vertikal kita sendiri!


 

Referensi

[1] Despommier, D., (2010). The Vertical Farm: Feeding the World in the 21st Century. Thomas Dunne Books/St. Martin’s Press.

[2] Wong, C. E., Teo, Z. W. N., Shen, L., Yu, H. (2020). Seeing the lights for leafy greens in indoor vertical farming. Trends in Food Science & Technology, 106: 48-63

[3] Lu, C., & Grundy, S. (2017). Urban Agriculture and Vertical Farming. Encyclopedia of Sustainable Technologies, 393–402


0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page