top of page
Cari

Pandemi Coronavirus & Perubahan Iklim: Hubungan yang Tak Terbantahkan


A girl in the midst of a crowd, most-likely a demonstration. She is holding a poster, that has a drawn image of a girl with hair like the earth. On the poster, there is also text that reads "A smile to protecc".

Selama beberapa minggu terakhir, banyak yang telah mendengar cerita positif tentang lingkungan dari efek krisis COVID-19 yang sedang berkecamuk. Salah satunya yaitu kanal-kanal di Venesia yang sepenuhnya jernih untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade dan laporang berkurangnya tingkat polusi karbon di udara secara drastis karena runtuhnya lalu lintas udara. Walaupun begitu, hubungan antara lingkungan dan pandemi tidak hanya satu pihak.


Secara spesifik, ada bukti jelas bahwa pengabaian lingkungan global dan dampak perubahan iklim berdekade-dekade lamanya berkontribusi terhadap peningkatan angka dan keparahan pandemic global. Para ilmuwan juga telah menemukan beberapa koneksi langsung antara perubahan iklim dan penyebaran pandemi global.


JADI BAGAIMANAKAH LINGKUNGAN TERHUBUNG DENGAN PENYEBARAN PENYAKIT?

1. Urbanisasi

Sebuah jalanan dengan beberapa bangunan dan jalanan yang penuh dengan kemacetan

Urbanisasi yang cepat di banyak negara seperti Indonesia merepresentasikan masalah besar dalam penyebaran penyakit di antara populasinya. Karena berbagai faktor ekonomi dan lingkungan, sebagian besar penduduk pedesaan pindah ke kota-kota besar.


Peningkatan kepadatan populasi umumnya menghasilkan [1,2,3]:

  • Penyakit ditularkan lebih cepat

  • Semakin banyak orang di daerah akut wabah (yang dapat terinfeksi)

  • Meningkatnya resiko terpapar hewan-hewan yang umumnya menjadi pembawa penyakit seperti tikus dan nyamuk


2. Perubahan Iklim & Nyamuk


Naiknya suhu → lebih banyak nyamuk → lebih banyak penyakit

Perubahan iklim meningkatkan populasi nyamuk global dengan bertambahnya tempat berkembang biak mereka. Temperatur yang lebih tinggi berarti nyamuk dapat hidup di lebih banyak area daripada sebelumnya, dan bereproduksi lebih cepat di area-area yang telah mereka tinggali [2,5].

Kota yang terus berkembang adalah tempat ideal untuk nyamuk berkembang-biak, karena adanya sumber air yang tak terhitung, seperti di pipa air, danau, kolam dan saluran air, dan juga persediaan darah yang hampir tak terbatas sebagai sumber makanan. Perubahan iklim juga meningkatkan tingkat curah hujan, yang lalu meningkatkan jumlah sumber air berjangka pendek, seperti genangan air di mana nyamuk dapat bereproduksi [2,5].


Walaupun nyamuk bukan pembawa COVID-19 secara khusus, mereka masih menyebarkan penyakit (seperti malaria dan demam berdarah) dengan lebih efisien dan di beberapa belahan dunia [7]. Jika tidak ditangani dengan benar, penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan penyakit parah atau bahkan kematian. Contohnya, WHO memperkirakan jumlah kematian akibat malaria sebanyak 405.000 pada tahun 2018 [8].


3. Perubahan Iklim & Patogen


Peningkatan suhu → patogen yang lebih resisten → badan kita tidak dapat melawan penyakit secara efisien

Sebuah poster di depan sebuah gedung. Di poster tersebut, terdapat tuilisan "I want a hot date not a hot planet", yang berarti "saya ingin sebuah pacar, bukan  dunia yang panas."

Masalah lain dari meningkatnya suhu karena perubahan iklim adalah kenyataan bahwa hal ini akan mengakibatkan patogen yang resisten. Patogen adalah organisme yang menyebabkan penyakit, mereka diklasifikasikan sebagai virus, bakteri, fungi dan parasit [9].


Salah satu cara badan kita melawan penyakit adalah dengan menaikkan suhu badan (demam). Walaupun begitu, semakin hangat permukaan suhu bumi, lebih banyak patogen yang akan menjadi resisten terhadap sistem badan kita dan meningkatkan bahaya yang ditimbulkan [4].


Ancaman ini diperkuat dengan fakta bahwa beberapa hewan yang diketahui membawa dan menyebarkan bahaya, seperti kelelawar, mampu untuk meregulasikan suhu badan mereka lebih tinggi dari manusia, yang berarti mereka tidak akan terdampak oleh patogen resisten yang meningkat [7].


Dengan begitu, disaat tingkat kematian manusia karena pandemi akan meningkat, tingkat kematian hewan-hewan ini tidak akan terdampak, sehingga mereka dapat membawa dan menyebarkan patogen yang semakin berbahaya untuk jangka waktu yang lama [7].

4. Peningkatan Bencana Alam


Kondisi cuaca ekstrim → makin banyak bencana alam → pemerintah tidak dapat menangani pandemic secara efektif


Meningkatnya bencana alam yang disebabkan perubahan iklim adalah faktor lain yang penting untuk didiskusikan. Perubahan cuaca umumnya dipercaya oleh ilmuwan untuk mengakibatkan periode kemarau yang lebih panjang, diikuti oleh hujan yang lebih ekstrim, tetapi lebih jarang. Hal ini berakibat ke peningkatan kekeringan dan kebakaran hutan sebagaimana tanah tidak mendapat hujan dalam waktu lama, dan karenanya menjadi lebih kering. Selanjutnya, hujan yang lebih kuat terancam dapat menyebabkan banjir karena tanah yang sangat kering perlu waktu lebih lama untuk bisa menyerap air. Kedepannya, ilmuwan telah menemukan bahwa pola perubahan cuaca karena perubahan iklim berarti badai ekstrim, termasuk badai angin dan angin topan akan meningkat, baik dari segi kuantitas dan kekuatan [10].


Para peneliti telah menemukan peningkatan dalam bencana alam mengurangi kemampuan suatu negara untuk menangani pandemic dan meningkatnya tingkat infeksi secara efektif [5].


Untuk suatu negara, bencana alam meningkatkan tingkat urbanisasi karena komunitas pedesaan seringkali dirusak oleh kejadian-kejadian ini, tidak memberikan mereka pilihan selain pindah ke kota untuk menemukan keamanan dan pekerjaan. Selanjutnya, bencana alam juga menghancurkan infrastruktur yang diperlukan selama penanganan pandemi seperti jalan, rumah sakit, dan infrastruktur kesehatan lainnya [5].


Seorang perempuan yang memegang sebuah payung. Dibelakangnya, terdapat banyak sampah.

 

Secara alami, alasan di balik meningkatnya penyebaran pandemi adalah sesuatu yang kompleks dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan perubahan cuaca. Walaupun begitu, para peneliti telah mendemonstrasikan bahwa ada hubungan jelas di antara keduanya. Pada akhirnya, kami pikir penting untuk menyatakan bahwa penelitian ini menunjukkan kita bagaimana efek dari iklim yang semakin memburuk ini sangat beragam.


Perubahan iklim tidak hanya akan mempengaruhi populasi hewan, tidak hanya masyarakat dalam kurun waktu lima puluh tahun ke depan, tidak hanya populasi tertentu di area-area khusus yang rentan, ini akan mempengaruhi kita semua.

Kami dari Project Planet berharap agar kalian semua tetap aman dan baik-baik saja selama krisis ini. Tetaplah berada di dalam ruangan sebisa mungkin dan jangan lupa mencuci tangan!


 

Co-kontributor: Tobias Ehrlich Sumber: [1]https://www.dhakatribune.com/world/2020/03/22/coronavirus-first-of-many-pandemics-environmentalists-warn [2] https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-4614-4496-1_4 [3] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525302/ [4]https://biomedicalsciences.unimelb.edu.au/news-and-events/pandemics,-pathogens-and-the-environment [5]https://www.swissre.com/dam/jcr:552d59b2-76c6-4626-a91a-75b0ed58927e/Pandemics_in_a_changing_climate_Full_report_FINAL.pdf [6] https://advances.sciencemag.org/content/4/12/eaau5294.full [7] https://time.com/5779156/wuhan-coronavirus-climate-change/ [8] https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/malaria [9] https://www.healthline.com/health/what-is-a-pathogen#types #coronavirus #covid19 #coronaindonesia #covidindonesia #climatechange #environment #corona

0 komentar

Comments


bottom of page