top of page
Cari

Melawan Deforestasi di Indonesia: Moratorium vs. Omnibus Law

To read this article in English, please click here.


Presiden Jokowi memutuskan moratorium tentang izin hutan menjadi permanen pada tahun 2019. Terlepas adanya sejumlah kritik, berita ini disambut hangat oleh kelompok aktivis lingkungan di Indonesia. Keputusan ini merupakan sebuah simbol yang menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi hutan kedepannya.


Namun demikian, Komitmen ini patut dipertanyakan setelah pemerintah Indonesia juga mengusulkan beberapa peraturan yang dapat membalikkan apa yang ingin dicapai melalui moratorium izin hutan.


Deregulasi Produksi Kayu di Indonesia

Pada bulan Februari, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan Indonesia mengumumkan bahwa tidak lagi mewajibkan penyertaan dokumen V-Legal untuk produk kayu tujuan ekspor.


Sebuah hutan sedang kebakaran
Bulan Februari 2020, Pemerintah Indonesia menerbitkan RUU Omnibus Law dimana para Aktivis Lingkungan menganggap akan membawa dampak negatif pada hutan Indonesia

Foto oleh Pixabay [5]


Dokumen V-Legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu tujuan ekspor telah memenuhi standar verifikasi legalitas kayu yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Peraturan tersebut dibentuk dengan tujuan untuk memastikan semua pihak yang terlibat dalam rantai pasokan kayu menggunakan bahan kayu dan produk kayu yang berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan serta menjalani perdagangan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku [1]. Walaupun tidak sempurna, dokumen V-Legal mempunyai peran penting dalam mengurangi terjadinya pembalakan liar hutan Indonesia karena produk kayu yang tidak disertai dengan dokumen V-Legal dilarang diperjualbelikan sehingga akhirnya kehilangan nilai ke-ekonomiannya.


Adanya keputusan untuk mencabut peraturan dokumen V-Legal menuai kritik dari para Aktivis Lingkungan serta dari Negara-negara Uni Eropa dimana mengancam akan menghentikan impor produk kayu asal Indonesia. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia akhirnya membatalkan aturan pencabutan dokumen V-Legal [2].


RUU Omnibus Law

Pada bulan Februari 2020, Pemerintah Indonesia menerbitkan RUU Omnibus Law dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian Indonesia yang terhambat dengan adanya wabah virus covid-19 [3]. Tetapi, keputusan ini mengundang kritik dari kelompok Aktivis Lingkungan karena RUU tersebut mencakup beberapa kebijakan dan perundang-undangan yang berpotensi mencelakakan lingkungan, terutama hutan Indonesia.

 
 

Dengan berlakunya RUU ini, sanksi hukum mengalami pelemahan. Contohnya, tanggung jawab mutlak yang di terapkan Pemerintah untuk menjerat korporasi pembakar hutan dan lahan juga dihapus sehingga korporasi tersebut tidak lagi wajib menanggung tanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayah izin mereka, kecuali pihak yang berwenang menemukan bukti yang menunjuk mereka secara langsung. Antara lain, RUU ini membuka luas kesempatan bagi korporasi untuk membakar hutan dan lahan demi mendapatkan izin kawasan baru.


Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) juga tidak mempunyai wewenang untuk menjerat korporasi yang melanggar peraturan hutan, kecuali pemerintah melakukan proses menggugat. Alhasil, KHLK yang sebelumnya berfungsi sebagai “garis pertahanan kedua” terhadap kerusakan lingkungan pun terancam hilang [4].


Konsolidasi Kekuasaan oleh Pemerintah

Selain membuka lebar investasi, RUU ini juga merupakan salah satu cara pemerintah pusat memperkuat kuasa mereka atas pemerintah daerah. Contohnya, kebijakan dan peraturan yang dicakup dalam RUU ini memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk membatalkan hampir semua peraturan lingkungan yang diberlakukan oleh pemerintah daerah dan keputusan ini tidak dapat diajukan banding di pengadilan yang sering terjadi pada tahun 2016 [4].


Sebuah petani lagi memanen
RUU Omnibus Law mengutamakan pertumbuhan ekonomi, sementara mengorbankan sektor lainnya, seperti lingkungan

Foto oleh Tuan Hoang [6]


Kemudian, Pemerintah Pusat menjadi pihak satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin pengembangan dan eksploitasi lahan [4]. Yang menjadi sumber masalah adalah keputusan ini memindahkan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatasi eksploitasi yang terjadi di lahan mereka ke tangan pemerintah pusat di kota Jakarta. Meskipun ada kontroversi dimana pemimpin pemerintah daerah menerima suap sebagai ganti izin, pemerintah daerah lah yang paling handal dalam hal membedakan izin yang mana yang harus diterima karena pemerintah daerah lah yang paling mengetahui kebutuhan lahan mereka sendiri. Selain itu, berlakunya RUU ini juga berpotensi membuat pemerintah pusat kewalahan sehingga ada indikasi bahwa penilaian dampak lingkungan akan dilakukan tidak mendetail [4].


Kekhawatiran akan dampak lingkungan pun bertambah dengan adanya penegasan dari Presiden Jokowi, yaitu tujuan utama RUU ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Penegasan ini mengindikasikan bahwa izin hutan akan diberikan secara mudah.


Perlu juga dicatat bahwa pihak yang merancang RUU ini didominasi oleh sektor bisnis dari berbagai macam industri, seperti minyak kelapa sawit. Selain itu, ini juga melanggar 31 putusan di pengadilan tinggi [3].


Sawah Baru di Kalimantan

Untuk mengamankan stok beras, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan untuk membuka lahan persawahan baru seluas 900 ribu hektar di Kalimantan. Yang menjadi pokok masalah adalah lahan persawahan baru tersebut akan dibangun di atas lahan gambut. Aktivis Lingkungan menekankan bahwa kegagalan di Papua pada tahun 1990-an menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi pemerintah telah memberikan kepastian bahwa telah belajar dari kegagalan tersebut [4].


Dalam sebuah wawancara, Presiden Jokowi menekankan bahwa masalah Perlindungan Lingkungan dan Hak Asasi Manusia penting, tetapi pertumbuhan perekonomian Indonesia tetap menjadi prioritas utama dan bagi beliau setiap masalah akan diselesaikan secara bertahap [4]. Pernyataan ini ditambah dengan keputusan-keputusan di atas lah yang membuat aktivis lingkungan cemas akan masa depan Indonesia.


 

Ingin berdiskusi lebih lanjut? Silahkan komen di bawah atau di forum kami.


0 komentar
bottom of page