Sistem pangan global bertanggung jawab atas 25% emisi gas rumah kaca. Sayangnya, sistem yang kita gunakan tidak efektif dalam mencukupi kebutuhan pangan global.
Sumber: Oleg Magni [12]
To read this article in English, click here.
Jakarta — Anda sedang berbelanja di supermarket dimana Anda melihat pisang sedang dijual dengan harga sale. Oleh karena itu, Anda memutuskan untuk beli lebih banyak dibanding biasanya. Sepuluh hari kemudian, Anda melihat beberapa pisang yang Anda beli telah berubah cokelat dan menjadi lembek. Walaupun bisa dibuat menjadi smoothie ataupun roti, Anda langsung membuang sisa pisang yang Anda beli ke tempat sampah sebab Anda berpikir membeli pisang baru akan lebih tidak repot.
Kita semua pernah berada di posisi ini dan melakukan hal yang sama. Maka dari itu, peristiwa ini bukanlah sesuatu yang unik. Buktinya, sepertiga dari makanan yang diproduksi di dunia terbuang sia-sia, baik sebelum atau selama proses dipanen, selama pengiriman atau setelah dibeli oleh konsumen [1]. Total makanan yang terbuang dapat mencapai 1.8 miliar ton. Meskipun kita menyia-nyiakan makanan sebanyak ini, hampir 815 penduduk dunia kelaparan [2].
Limbah makanan adalah pemicu utama perubahan iklim. Jika limbah makanan yang diproduksi di dunia dikumpulkan menjadi suatu negara, maka limbah tersebut akan menjadi penghasil emisi gas rumah kaca tiga terbesar di dunia setelah China dan Amerika dimana gas metana yang dihasilkan mempunyai potensi pemanasan global 25 kali lebih tinggi dibanding karbon dioksida [3].
Walaupun limbah makanan adalah permasalahan global, beberapa negara memproduksi lebih banyak limbah sampah dibanding yang lain, termasuk Indonesia yang duduk di posisi kedua tertinggi dalam hal penghasilan limbah makanan di dunia setelah Arab Saudi. Diperkirakan Indonesia membuang hampir 13 juta ton makanan setiap tahun yang dapat memberi makan sebanyak 28 juta orang [4,5]. Ironisnya, 7.6% dari 260 juta populasi Indonesia kekurangan asupan gizi. Ditambah lagi, pertumbuhan lebih dari 36% anak-anak di bawah usia lima tahun terhambat akibat dari kekurangan gizi yang berkepanjangan [6].
Semua hal ini menimbulkan suatu pertanyaan: mengapa Indonesia membuang begitu banyak makanan? Minggu lalu, kami mengadakan Instagram Live bersama Komunitas Surplus (@komunitas.surplus) untuk mencari tahu apa penyebab dan juga solusi dari maraknya limbah makanan di Indonesia. Berikut adalah rangkuman diskusi kami.
Penyebabnya
1. Kurangnya infrastruktur, Kondisi Transportasi, serta Fasilitas Penyimpanan yang Kurang Memadai
Seperti negara-negara berkembang lainnya, Indonesia kekurangan infrastruktur yang menyambungkan daerah penghasil makanan dan pusat populasi yang pada akhirnya menghambat proses transportasi makanan sehingga food loss pun terjadi [6]. Ada juga masalah kurangnya fasilitas penyimpanan yang kurang memadai. Industri perikanan lokal membutuhkan sekitar 14 juta ton fasilitas penyimpanan dingin, tetapi pada nyatanya hanya mempunyai sekitar 7.5 ton. Kekurangan yang sama juga berlaku pada industri daging ayam olahan serta sayur-sayuran dan buah-buahan [7].
Sumber: Indonesia-Investments [7]
2. Pola Pikir dan Budaya Indonesia
Perdagangan internasional telah menimbulkan suatu perubahan yang signifikan pada pola konsumsi makanan kita dan salah satu keuntungan terbesarnya ialah akses ke produk-produk yang susah ditemukan di pasar lokal.
Akan tetapi, apa yang terjadi kalau kita menjadi berkegantungan pada barang impor? Pada umumnya, penduduk Indonesia lebih percaya dengan kualitas, rasa dan keamanan barang impor dibanding barang lokal. Menurut TheJakartaPost, limbah makanan yang dihasilkan Indonesia melebihi jumlah makanan yang diproduksi dalam negeri dan gap ini ditutup dengan makanan impor makanan [8]. Pola pikir ini tidak hanya membahayakan produsen lokal dan mata pencaharian mereka, tapi kebergantungan kita pada makanan impor juga dapat meningkatkan jejak karbon kita yang pada akhirnya memperburuk masalah permanasan global.
Sumber: ready made [13]
Terlebih daripada itu, budaya sosial kita tidak menghargai makanan untuk nutrisi yang diberikan, melainkan nilai kemewahannya di saat bersosialisasi. Contoh yang paling besar adalah acara pernikahan di Indonesia yang sangat berlimpah. Di balik ini, 90% dari makanan yang disediakan di acara tersebut akhirnya terbuang sia-sia [5].
Hal tersebut dipicu oleh media sosial karena selama beberapa tahun terakhir ini, tren makanan semakin berfokus pada apa yang menjadi Instagrammable daripada rasa atau nilai makanan itu sendiri. "Makanan adalah sebuah kesempatan yang besar," kata Alex Tonner, co-founder Collectively, agen marketing influencer media sosial. "Yang lebih besar dan lebih mewah menjadi sebuah kebutuhan sekarang: apa pun yang berlebih...." [9].
Jangan lupakan bahwa selagi kita sibuk meningkatkan jumlah likes di akun media sosial kita, cara kita makan juga dapat menyebakan gunungan sampah di TPA kita semakin tinggi
3. Makanan yang Tidak Sempurna
Standar makanan adalah salah satu sumber pemicu maraknya limbah makanan di Indonesia, baik itu sebelum atau sesudah panen. Di Eropa, 50 juta ton sayur dan buah-buahan dibuang setiap tahun karena bentuk yang aneh serta adanya noda yang tidak akan terjual di pasar kita yang terlalu terobsesi dengan penampilan [10].
Supermarket tidak akan menerimanya, retailer lain pun tidak akan dan kita pun tidak. Bayangkan Anda di supermarket dan perhatian Anda tertarik pada dua buah-buahan di depan Anda, tetapi salah satu dari buah tersebut mempunyai benjolan yang cukup besar. Namun, keduanya tetap dapat dimakan. Buah yang mana yang Anda akan pilih?
Saat kita membaca alasan-alasan yang diberikan di atas, sangat masuk akal mengapa Indonesia dapat menghasilkan begitu banyak sampah selama ini. Maka dari itu, sangat penting bagi kita semua untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah ini. Berikut adalah beberapa cara yang disarankan oleh Project Planet serta Komunitas Surplus untuk mengurangi limbah makanan kita.
Bagi Konsumen
Berpikirlah sebelum membeli apa pun; baik di supermarket, restoran ataupun di rumah saat memakai aplikasi seperti GoFood dan GrabFood. Bertanyalah pada diri Anda: apakah ini produk lokal atau impor? Berapa banyak energi yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut? Apakah ini ditanam secara organik? Seberapa jauh jarak yang ditempuh dari tempat produksi ke toko atau meja makan? Apa yang akan saya masak dengan menggunakan bahan makanan ini? Dengan begitu, Anda akan tahu apakah Anda hanya membeli produk ini demi kebutuhan atau tidak.
Menghargai bahan makanan lokal. Dengan membeli dan makan bahan makanan yang diproduksi pasar lokal, kita tidak hanya mengurangi jejak karbon kita, tetapi juga melindungi mata pencaharian petani kita.
Kurangi membuang makanan. Selalu buat rencana sebelum melakukan apapun. Buatlah daftar belanja dan menu makanan. Simpan makanan yang cepat kadaluwarsa di bagian depan kulkas sehingga Anda selalu teringat.
Mulai buat kompos dari sampah organik Anda. Dengan membuat kompos, Anda dapat mengurangi gas rumah kaca karena sampah makanan Anda tidak perlu diangkut ke TPA (mengurangi CO2) dan proses ini tidak akan menghasilkan gas metana ke atmosfer [11].
Bagi Retailer
Stop menggunakan standar bahan makanan yang berlebihan. Selama ini, retailer makanan menggunakan standar makanan yang menolak sayur dan buah-buahan yang tampak cacat sedikitpun. Oleh karena itu, ada baiknya jika retailer-retailer tersebut menghentikan praktik tersebut dan mulai menjual sayur dan buah-buahan yang tampaknya aneh dengan potongan harga agar dapat mengurangi limbah makanan yang dihasilkan.
Simpan makanan yang sudah melewati tanggal "use-by". Tujuannya adalah agar makanan yang masih layak dimakan ini dapat dibagikan ke organisasi amal daripada membiarkan makanan tersebut membusuk di TPA.
Bagi Pemerintah
Menegakkan aturan-aturan yang sudah ada dan memberikan penalti kepada yang melanggar. EIU menyarankan pemerintah untuk mulai mengenakan denda kepada siapapun yang menyia-nyiakan makanan sekaligus memberikan insentif kepada rumah tangga serta bisnis lokal yang berupaya memanfaatkan makanan untuk konsumsi manusia, makanan ternak, keperluan industri dan pembuatan kompos [6].
Melanjutkan peningkatan infrastrukut dan fasilitas penyimpanan. Pemerintah kita harus memprioritaskan pengembangan infrastruktur di Indonesia serta membangun lebih banyak fasilitas penyimpanan agar mengurangi food loss.
Memberikan edukasi kepada produsen dan konsumen tentang limbah makanan. Pemerintah Indonesia harus mengambil inisiatif dan memberikan edukasi kepada produsen kita dalam hal menyimpan hasil panen mereka agar menghindari food loss yang disebabkan oleh kaduluwarsa prematur. Sama halnya dengan mengajarkan pentingnya menghemat makanan di sekolah melalui kegiatan seperti belajar membuat kompos dari sisa makanan.
Mengurangi sampah makanan tidak akan terjadi semalaman, tetapi menjadi lebih sadar akan cara kita membeli bahan makanan serta cara kita makan dapat membantu kita untuk mengurangi sampah makanan kita. Menurut BBC, jika kita stop menyia-nyiakan makanan, kita dapat mengurangi sebanyak 8% total emisi global [1]. Artinya, kita tidak hanya melawan kelaparan global, tetapi juga pemanasan global: win-win.
Topik apa yang Anda ingin kami tulis? Berikan masukan Anda di FORUM kami!
Sumber:
[3] https://www.universityofcalifornia.edu/longform/what-you-need-know-about-food-waste-and-climate-change [4] https://theconversation.com/three-solutions-for-indonesia-to-reduce-food-waste-130413
Foto:
Comments