top of page
Cari

Apakah Pengelolaan Sampah Perkotaan Terintegrasi Akan Membantu Indonesia Memecahkan Masalah Sampah?

Dengan pengelolaan sampah yang kurang memadai selama ini, masalah sampah di Indonesia akan semakin besar apabila dibiarkan.

Sumber: Claudio Schwarz [6]


To read this article in English, click here


Sampah perkotaan di Indonesia menjadi masalah yang belum terselesaikan secara sistematis dan berkelanjutan. Sebagian besar sampah berakhir di tempat pembuangan yang menimbulkan persoalan tersendiri ketika tidak diikuti dengan proses pengolahan selanjutnya. Tidak terkelolanya sampah di Tempat Pembuangan Akhir menyebabkan polusi air tanah dan gas metana [1].


Kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan hingga kini masih terdapat 40% kabupaten/kota yang mengoperasikan TPA dengan sistem open dumping [2]. Padahal, UU No. 18/2008 menekankan bahwa pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem tersebut. Dengan demikian, kebijakan pemerintah belum sepenuhnya diterapkan dalam perencanaan pembangunan daerah terkait dengan integrasi pengelolaan sampah.

Sumber: KHLK [7]


Salah satu contohnya kota Jakarta. Sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia, kota ini merupakan penghasil sampah terbanyak secara nasional. Menurut data dari Statistik Lingkungan Hidup, pada 2019 Jakarta menghasilkan sampah sebanyak 8.292 kg (7.702 m3) per hari dengan persentase sampah yang terangkut sebesar 93%. Namun, dilihat dari tempat pembuangan sampah yang tersedia, jumlah tempat pengelolaan sampah dengan konsep 3R (Reuse, Reduce dan Recycle) masih minim [3].

 
 
TPST Bantargebang yang menjadi tempat berakhirnya sampah ibu kota diperkirakan akan melebihi kapasitas dalam dua tahun mendatang. Saat ini sebagian besar masih dipadatkan menjadi bukit sampah dan hanya sebagian kecil sampah yang diolah menjadi kompos. Walau demikian, ada lebih dari 7.000 pemulung yang menggantungkan hidup dari tumpukan sampah, para pemulung tiap harinya memilah sampah yang memiliki nilai guna [4].

Sumber: Tom Fisk [8]


Dalam rangka pemulihan dari pandemi, secara global banyak diserukan untuk membangun kembali dengan prinsip berkelanjutan. Pertumbuhan masyarakat di daerah urban dan tingkat konsumsi yang meningkat mendorong pentingnya kota-kota di Indonesia memprioritas pengelolaan sampah. Pemilahan sampah dari sumbernya, penerapan ekonomi sirkular dinilai akan lebih efektif dan berkesinambungan. Indonesia sendiri telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang pengelolaan sampah yang menerapkan prinsip sirkular ekonomi.


Pada awal 2021, Kementerian PPN/Bappenas mempublikasikan laporan “Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan dari Ekonomi Sirkular di Indonesia”.Kajian ini menunjukkan bahwa sirkularitas, khususnya pada lima sektor utama ekonomi (makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan grosir dan eceran, serta peralatan listrik dan elektronik) dapat menjadi komponen kunci dalam memperkuat ekonomi sekaligus melestarikan lingkungan [5].

 
 

By adopting circular economy, there are multiple potential benefits: increasing Indonesia's GDP to IDR 638 trillion compared to the business-as-usual approach in 2030; 4.4 million green jobs could be created between 2021 and 2030, reducing 126 million tonnes of CO2eq emissions and reducing water use by 6.3 billion cubic meters by 2030, and the average household in Indonesia could save IDR 4.9 million annually [5].


Potensi yang besar ini tentunya perlu didukung oleh kesiapan sistem yang terpadu dan kolaborasi aktif antara semua pihak. Para pemimpin daerah perlu meningkatkan kapasitas masing-masing kelembagaan/lembaga di dalamnya agar efektif dalam menjalankan program mitigasi krisis sampah. Ketersediaan sarana yang melibatkan perusahaan, organisasi sipil dan masyarakat, serta adanya ketegasan insentif dan disinsentif akan menguatkan kebijakan yang ada.


 

Sumber:


Foto:

[6] https://unsplash.com/photos/mLo0kohXZhs

0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page