To read this article in English, please click here.
Moratorium logging Indonesia awalnya direncanakan hanya untuk dua tahun, dari 2011 hingga 2013. Namun, telah diperpanjang sebanyak tiga kali (2013, 2015, 2017) sebelum dibuat permanen pada 2019.
Pada tahun 2019, pemerintah mengklaim bahwa jumlah rata-rata deforestasi dari 2011 - 2018 di wilayah moratorium telah turun sekitar 38% dibandingkan dengan tujuh tahun sebelumnya. Tetapi, penelitian yang menggunakan data gambar satelit memiliki kesimpulan sebaliknya, mengklaim peningkatan sekitar 41% [1].
Foto oleh Pok Rie [4]
Deforestasi Berlanjut di Wilayah yang Tidak Dilindungi
Penebangan dalam zona moratorium bukan satu-satunya masalah. Salah satu masalah adalah deforestasi yang merajalela di area yang tidak termasuk dalam moratorium. Di antara 2011 dan 2014, pemerintah memberikan izin untuk kawasan hutan yang meluas hingga sekitar 164.000 km2, memunculkan pertanyaan tentang tujuan dasar hukum [1]. Hal ini, bersama dengan dikeluarkannya petak besar hutan primer, lahan gambut, dan hutan sekunder dalam lingkup moratorium telah menyebabkan banyak aktivis menyerukan perluasan kawasan lindung.
Gagasan ini semakin diperkuat oleh studi tahun 2015 yang menyimpulkan jika moratorium diberlakukan pada tahun 2000, ini hanya akan mengurangi deforestasi kurang dari 3%, dan emisi karbon kurang dari 7%. Studi ini menyimpulkan bahwa jika pemerintah ingin mencapai tujuan pengurangan emisi, mereka harus mengatasi deforestasi di luar zona moratorium saat ini [1].
Wilayah Perlindungan Moratorium yang Terus Berkurang
Namun, alih-alih tumbuh, area moratorium sebenarnya telah berkurang selama bertahun-tahun. Salah satu ketentuan moratorium adalah bahwa pemerintah harus meninjau dan mengubah zona perlindungan setiap enam bulan berdasarkan rekomendasi otoritas lokal. Ini memberikan industri untuk mampu menggunakan kombinasi lobi yang agresif dan suap untuk mendapatkan akses ke tanah yang diinginkan. Contoh hasil baik dari hal ini adalah mantan gubernur provinsi Riau, Sumatra, yang dijatuhi hukuman penjara 7 tahun karena menerima suap 2 miliar rupiah [1]. Walaupun begitu, sementara penjahatnya ditangkap dan dihukum, masih banyak pelaku lainnya yang telah berhasil menghindari penegakan hukum.
Diperkirakan bahwa selama delapan tahun awal moratorium, jumlah kawasan lindung telah berkurang sekitar 30.000 kilometer persegi, atau sekitar 4,5% dari total kawasan. Selebihnya, sekitar 122.500 km2 lahan tersedia untuk dieksploitasi perusahaan, menggunakan celah dalam moratorium yang memungkinkan para pemimpin lokal untuk mengatasi larangan perizinan dengan menyatakan tanah di dalam zona moratorium sebagai tanah “penggunaan lainnya” (APL) [1].
Foto oleh Thiago Japyassu [5]
Sisi Positif setelah Kebakaran Hutan 2015
Di samping itu, ada juga beberapa perkembangan besar yang telah terjadi. Sebagai tanggapan terhadap bencana kebakaran tahun 2015, pemerintah mengeluarkan moratorium lebih lanjut tentang eksploitasi semua lahan gambut [2]. Pemerintah juga menuntut perusahaan-perusahaan yang mereka anggap bertanggung jawab atas kebakaran ini. Sebagai contoh, PT National Sago Prima diperintahkan untuk membayar 1 triliun rupiah karena perannya yang melalaikan lingkungan hingga kebakaran parah [3]. Kebijakan-kebijakan ini tampaknya memiliki efek positif karena pada tahun 2018, Indonesia kehilangan “hanya” 3.400 km2 hutan, angka terendah sejak tahun 2003 dan penurunan 40% dibandingkan dengan rata-rata tahun 2002-2016 [2].
Perkembangan ini, serta diumumkannya moratorium yang menjadi permanen sejak 2019 dan seterusnya oleh Presiden Joko Widodo, tampaknya menunjukkan tren positif untuk perlindungan hutan Indonesia.
Ingin berdiskusi lebih lanjut? Silahkan komen di bawah atau di forum kami.
Sumber:
Foto:
Comments