To read this article in English, click here
Sumber: Pixabay [6]
Sejak pandemi COVID-19, minat masyarakat Indonesia terhadap urban farming semakin meningkat [1]. Akan tetapi, mengingat bahwa tren urban farming sebenarnya telah berkembang sejak awal tahun 2010-an [2], mengapa tren ini baru saja mulai di Indonesia?
1) Regulasi yang ambigu
Sejauh ini, regulasi dan kebijakan mengenai urban farming sangatlah ambigu. Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum tidak mengklasifikasikan urban farming sebagai bentuk ruang hijau terbuka sementara Kementerian Dalam Negeri menyatakan hal sebaliknya. Ada juga beberapa kasus dimana urban farming dilabeli dalam perencanaan spasial sebagai aktivitas yang non-formal, baik untuk keperluan ekonomi maupun fungsi ekologis [3].
2) Kurangnya dorongan ekonomi
Meskipun pemerintah memberi dukungan penggunaan lahan, pemerintah tidak menawarkan dorongan ekonomi untuk mengajak komunitas-komunitas agar tertarik dengan urban farming. Malah sebaliknya, urban farming di Indonesia dapat berkembang dengan adanya bantuan dari Kementrian Pertanian dan lembaga-lembaga yang tertarik dengan bidang tersebut [3].
Pemerintah umumnya memberikan bantuan dalam bentuk penghargaan seperti Kalpataru yang diberikan pada individu atau kelompok yang berhasil menginisiasi urban farming. Namun, komunitas lokal menganggap bahwa penghargaan tersebut tidak sebanding dengan bantuan dana [4].
Sumber: Unsplash [7]
3) Kurangnya minat dari generasi muda
Generasi muda di Indonesia kerap menganggap pekerjaan di bidang agrikultura sebagai pekerjaan kasar berupah rendah. Pada 2019, Survei Angkatan Kerja Nasional menyatakan bahwa hanya 23% dari 14,2 juta generasi muda di Indonesia yang bekerja di sektor agrikultura, kehutanan, dan perikanan. Kurangnya reputasi baik dari agrikultura ini tentunya sangat mempengaruhi minat masyarakat terhadap urban farming [5].
Sumber: Unsplash [8]
Baca juga: Studi Baru pada Kelelawar Menunjukkan Perubahan Iklim Terhubung dengan COVID-19. Begini Alasannya.
Sumber:
Gambar:
Yorumlar