To read this article in English, click here.
Semuanya berawal ketika kapitalisme muncul dan sebuah pola muncul ke permukaan, pola yang dipicu oleh rasisme yang mengakar dan memicu siklus ketidakadilan sosial.
Dominik Dancs [9]
Ini berasal dari sistem industri berbasis ras
Perang berakhir dan era emas industri dimulai, di mana kapitalisme lebih berjaya daripada sebelumnya. Iklan dan pengiriman dapat diakses hampir dari setiap sudut dunia, bangunan semakin tinggi, dan wilayah pabrik semakin luas.
Ketika permintaan meningkat, perusahaan memiliki ide untuk mengadakan produksi massal yang mengurangi modal dan meningkatkan laba. Pabrik yang dibangun ribuan mil jauhnya dari kantor pusat perusahaan, memungkinkan mereka untuk merekrut tenaga kerja yang diisi oleh kalangan bawah. Orang-orang ini cukup putus asa untuk standar dan peraturan pabrik yang terabaikan hanya untuk mendapatkan upah minimum.
Selain masalah upah dan keselamatan, peraturan lingkungan juga diabaikan di daerah terpencil di negara-negara berkembang. Faktanya, sekitar 80% anak-anak yang tinggal di Guiyu, Republik Rakyat Cina, menderita keracunan timbal. Daerah ini telah menjadi salah satu situs limbah elektronik terburuk di dunia, yang sebagian besar berasal dari AS [1]. Dengan kasus-kasus ini, standar hidup mereka sangat berkurang dan kesehatan mereka terus-menerus terancam oleh komplikasi lingkungan.
Sudah menjadi pola umum bahwa pusat-pusat industri ini berbasis di negara maju di mana mereka mengeksploitasi daerah tertinggal di seluruh Asia dan Afrika. Pemiliknya sebagian besar berkulit putih, mempengaruhi kehidupan pekerjanya yang terdiri dari berbagai orang kulit berwarna dari jauh.
Menyamarkannya dengan gagasan bahwa mereka membantu mengembangkan kehidupan, bangunan-bangunan itu malah semakin mencemari kota. Akhirnya, limbah dan jejak karbonnya dapat ditemukan di seluruh dunia, yang memberi dampak tidak hanya kepada kaum yang termarjinalisasi dalam radius 10 km tetapi juga ribuan mil jauhnya.
Baca Juga: Apakah Perubahan Iklim Rasis?
Ini mengakhiri harapan dan kehidupan kaum yang termarjinalisasi
Perubahan iklim mengancam hidup seluruh manusia tanpa memandang warna kulit mereka, jumlah uang pada rekening bank mereka, dan lingkungan tempat mereka tinggal. Namun, orang-orang yang termarjinalisasi ditempatkan di garis depan perubahan iklim.
1. Sampah plastik di seluruh lautan mengurangi pendapatan nelayan
Angela Compagnone [10]
Limbah non-daur ulang yang dikelola dengan buruk menimbulkan bahaya besar bagi setiap makhluk hidup, mulai dari karang hingga manusia. Plastik bertahan selama ratusan tahun di tempat-tempat yang mungkin tidak akan pernah kita lihat.
Nelayan di Marunda Kepu, Jakarta tidak memiliki ikan untuk ditangkap sejak plastik mengambil alih laut. Pada awalnya plastik mengambang, tetapi akhirnya akan tenggelam sampai mencapai dasar laut. Dengan bantuan ombak, pasir pantai menyapu dasar laut dan menyembunyikannya di bawah pasir. Proses ini terus berlanjut hingga membuat lautan lebih dangkal setiap hari dan ikan tidak bisa hidup di lingkungan seperti itu [2].
2. Temperatur ekstrem mengancam kehidupan tunawisma secara langsung
Jonathan Kho [11]
Orang-orang ini hampir tidak menggunakan listrik dan transportasi pribadi yang berkontribusi pada kenaikan suhu global, tetapi mereka mengalaminya dampaknya secara langsung.
Dari 2016 hingga 2018, ketika gelombang panas melanda Phoenix, Amerika Serikat, 42 orang kehilangan tempat tinggalnya. Sedangkan korban lainnya adalah pekerja luar ruangan dan orang-orang yang tidak memiliki pendingin udara yang memadai, sebuah komunitas yang tampaknya terpinggirkan tanpa stabilitas keuangan [3].
Di sisi lain, ketika suhu mencapai -30 derajat celsius di Rusia, seorang pria tunawisma bernama Alexei harus tidur di bawah pipa pemanas pabrik [4]. Kondisi ekstrim mendorongnya untuk menemukan solusi yang sama ekstrimnya.
3. Deforestasi merampas hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka sendiri
Annie Spratt [12]
Komunitas adat adalah komunitas pertama manusia yang hidup di wilayah hutan. Industri korup yang secara membabi buta mengambil tanah mereka dan tidak mengikuti peraturan pemerintah untuk merevitalisasi membuat mereka menderita.
Pada tahun 2018, ada 410 konflik tanah yang memengaruhi 87.658 tempat tinggal penduduk asli Papua. Mereka telah kehilangan hak mereka sendiri terhadap industri dan pabrik kelapa sawit. Jika kita melihat ke Kalimantan Barat dan Sumatra, suku Dayak Iban dan Anak Dalam harus mencari sumber pendapatan lain [5]. Pohon-pohon yang dulunya menjadi bahan utama untuk aksesoris buatan tangan mereka dipindah tangankan ke industri.
4. Banjir menghancurkan rumah-rumah orang miskin
Tuan Nguyen [13]
Pusat kota telah menjadi milik orang-orang dengan stabilitas keuangan sementara sisanya harus menetap di pinggiran. Namun, selain irigasi dan sistem limbah yang tidak dikelola dengan baik, musim hujan yang kuat dan fenomena alam lainnya lebih memengaruhi rumah-rumah di daerah kumuh daripada di daerah perkotaan.
Kenyataan ini berasal dari masalah di mana gedung perkantoran dan apartemen mewah dibangun di atas area yang seharusnya didedikasikan untuk lahan hijau. Hanya 20% dari tanah dapat digunakan untuk bangunan, tetapi saat ini malah 80% adalah bangunan. Sebagai bukti, kompleks perkantoran yang luas di Jalan TB Simatupang Jakarta saat ini adalah salah satu daerah yang seharusnya bisa merendam banyak air [6].
Apartemen dan rumah mewah juga memiliki peluang lebih kecil untuk terkena dampak. Awal tahun ini, setidaknya 8 rumah di sudut Jakarta Timur hancur total akibat angin kencang dan hujan. Ini terjadi karena angin muson yang tahun ini jauh lebih kuat daripada yang mereka telah alami selama 3 tahun terakhir [7].
5. Kekeringan membuat petani sulit memanen hasil panennya
Artem Beliaikin [14]
Butuh satu bulan bagi petani untuk mendapatkan keuntungan, tetapi perubahan iklim hanya mengundur satu-satunya sumber pendapatan mereka untuk satu bulan lagi. Indonesia mengalami musim kemarau teratur dan bahkan lebih ketika suhu naik.
Pada akhir 2019, sekitar 9.676 hektar sawah di Jawa Tengah gagal ditanami padahal seharusnya 8 ton beras per hektar bisa dijual untuk biaya hidup sehari-hari. Beberapa ladang di dekat tepi air berhasil disiram, tetapi sisanya yang terlalu jauh darinya tidak memiliki banyak harapan [8].
Ini semua hanyalah sebagian kecil dari banyak kejadian malang yang harus dilalui kaum termarjinalisasi yang mayoritas berisi kaum kulit berwarna. Selama industri rasis masih menghasilkan angka keuntungan yang tinggi, semua ini hanya akan menjadi lebih buruk.
Apa lagi yang Anda ingin kami tulis? Tulis di FORUM kami!
Editor: Christopher Randy
Sumber
8 https://m.mediaindonesia.com/read/detail/256020-gagal-panen-karena-kekeringan-petani-jateng-pasrah
Foto
9 Dominik Dancs https://unsplash.com/photos/PAfgEDLOQH4
10 Angela Compagnone https://unsplash.com/photos/g1xoeXbfuTw
11 Jonathan Kho https://unsplash.com/photos/AweUC9wTnbs
12 Annie Spratt https://unsplash.com/photos/5Rqbm8qyG_U
13 Tuan Nguyen https://unsplash.com/photos/FYolhP1PDng
14 Artem Beliaikin https://www.pexels.com/photo/landscape-photography-of-rice-field-914207/
Comments