top of page
Cari
Gambar penulisLinna Amanda

3 Negara Ini Bisa Menginspirasi Indonesia untuk Memanajemen Plastik dengan Lebih Baik

Plastik, plastik, plastik, masalah klise yang terus terulang.

To read this blog in English, click here.

tumpukan sampah plastik dari restoran cepat saji
Yang benar-benar dibutuhkan dunia adalah pengelolaan limbah yang terencana dengan baik.

Jasmin Sessler [8]


Dari Indonesia hingga Amerika Serikat, rata-rata jumlah sampah terus meningkat sepanjang tahun. Pada tahun 2018 saja, ada sebanyak 359 ton plastik yang diproduksi, meningkat 3,2% dari 2017, dengan 50% dari data yang diambil dari Asia [1].


Industri plastik tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, namun dengan pengelolaan limbah yang tepat, daur ulang, dan pembatasan untuk plastik berbahaya yang tidak dapat didaur ulang, kita bisa membatasi konsekuensi lingkungan ekstrim yang membahayakan semua makhluk hidup di planet ini!


Berita baiknya, beberapa negara telah mengembangkan sistem nasional yang bisa menjadi tolak ukur dalam menangani masalah sampah plastik global. Ayo jalan-jalan ke 3 negara yang punya solusi efektif untuk menangani limbah, baik plastik maupun non-plastik!

 

Disclaimer: urutan angka yang ada di daftar ini tidak berdasarkan ketentuan apapun.

 

1. Limbah-Menjadi-Tenaga, Swedia

Stockholm dari atas
Di Swedia, sampah bukan hanya sampah, tapi bahan berguna untuk tenaga pembangkit listrik.

Raphael Andres [9]


Kita mulai perjalanan ini dari Swedia yang di mana alih-alih mengisi ulang batubara, gas, atau bahan bakar fosil, mereka menggunakan limbah untuk mengoperasikan pembangkit listrik mereka. Sistem ini telah berjalan secara progresif sejak tahun 2002 dan dianggap sebagai sistem pengelolaan limbah yang revolusioner [2].


Untuk mewujudkannya, limbah rumah tangga dan industri dikumpulkan dan kemudian disortir untuk dimasukkan ke dalam insinerator. Sebelum itu, sampah perlu disortir dulu karena tidak setiap jenis sampah aman dan cukup memadai untuk dijadikan bahan bakar. Yang diterima hanyalah limbah rumah tangga yang mudah terbakar, tetapi dengan catatan tidak mengandung terlalu banyak cairan atau bahan kimia berbahaya.


Limbah berbahan lainnya dikirim ke program daur ulang, yang kemudian menghasilkan residu limbah yang tidak mudah terbakar, atau terak, yang dapat digunakan sebagai bahan keras untuk membangun jalan dan tempat parkir.


Yang lebih menakjubkan lagi, setiap 4 ton sampah sama nilainya dengan 1 ton minyak, 1,6 ton batubara, atau 5 ton kayu [3]. Pembangkit listrik langsung menyediakan pemanas ke 810.000 rumah untuk menghadapi musim dingin kejam yang menyelimuti seluruh negeri. Apa yang lebih baik dari memberi makan dua burung dengan satu scone?


Beberapa mengatakan sistem ini hanyalah pembakaran sampah dalam skala yang lebih besar, tetapi Swedia memastikan bahwa residu dan limbah setelahnya disimpan atau dikelola melalui berbagai lapisan filter dan proses pemurnian.

 

Baca Juga: Dampak dari Budaya Sekali Pakai

 

2. The Green Dot, Jerman

Berlin dari atas
The Green Dot meminta industri kemasan untuk mengambil kembali dan mendaur ulang semua yang terjual.

Claudio Schwarz [10]


Setelah penerbangan 2 jam dari Stockholm, kita sekarang berada di Berlin untuk melihat bagaimana mereka berhasil memiliki tingkat daur ulang tertinggi di dunia! Pada tahun 2017, sebanyak 56,1% dari seluruh limbah yang diproduksi di negara ini didaur ulang [4]. Ini berhasil berkat salah satu sistem yang mereka sebut dengan The Green Dot.


Tentu saja, butuh waktu lama untuk mencapai angka setinggi itu, bahkan sejak tahun 1991 ketika ide itu pertama kali diterapkan [5]. Idenya sederhana, semua produsen kemasan diwajibkan untuk mengambil kembali produk bekas mereka untuk didaur ulang. Sebuah ide sederhana yang mempraktekkan “selesaikan apa yang Anda mulai” secara literal!


Sampai 2009, distributor kemasan wajib mencetak lambang The Green Dot di produk mereka. Ini memungkinkan orang untuk mengetahui bahwa perusahaan telah berkontribusi pada pengelolaan limbah negara. Ini juga berfungsi sebagai tanda bahwa distributor telah bekerja sama dengan perusahaan daur ulang. Namun sekarang, sistem ini tidak wajib lagi dan lebih bersifat sukarela [6].


Ini juga berlaku untuk warga negara umum yang memiliki peran sangat penting sebagai konsumen. Yang perlu mereka lakukan adalah memastikan paket dengan stiker Green Dot di depan rumah untuk diambil oleh agen atau menyerahkannya ke tempat pengumpulan terdekat.


Sejauh ini, 20 negara di Eropa telah bergabung dalam aksi tersebut dengan mengadopsi sistem serupa. Sekitar 95.000 lisensi The Green Dot telah diperoleh di seluruh Eropa. Bukti nyata bahwa perubahan positif menyebar!


3. Semakau, Singapura

Singapore from above
Tempat akhir limbah Singapura tidak seperti negara lainnya, Semakau juga ekosistem laut yang sehat.

Swapnil Bapat [11]


Dari Eropa ke Asia, kita sekarang mengunjungi tetangga tercinta Indonesia, Singapura. Kalau kamu belum pernah mendengarnya, Semakau adalah pulau tempat pembuangan sampah dengan ekosistem yang terintegrasi.


Singapura adalah pulau kecil dan semua warganya tinggal di jantung negara itu. Meskipun cara hidup seperti ini efektif dan mudah diakses, ini juga berarti ada lebih sedikit lahan yang bisa dipakai untuk mengelola limbah harian yang dihasilkan setiap rumah tangga. Manusia tidak bisa hidup di sebelah tumpukan sampah!


Sebagian besar negara mendedikasikan sebagian kecil area untuk pembuangan sampah dan membiarkannya seperti apa adanya, tetapi tidak dengan Semakau. Batu sepanjang 7 km ini juga merupakan rumah bagi kehidupan laut dan hutan bakau yang berkembang di sekitar pulau. Bahkan beberapa orang mengatakan pulau ini terlihat layaknya pulau tropis indah lain!


Rahasianya terletak di balik fakta bahwa semua limbah sebelumnya dikirim ke insinerator limbah-menjadi-energi, seperti yang dimiliki Swedia. Barulah residu dan limbah tidak mudah terbakar yang telah didaur ulang dikumpulkan dan dikelola di Semakau, membuatnya tidak seperti TPA yang kotor dan bau lainnya [7]. Pulau ini bahkan terbuka bagi pengunjung yang mau belajar tentang pengelolaan limbah padat.


Swedia, Jerman, dan Singapura mengajarkan kita bahwa sampah adalah aspek penting dari kehidupan manusia. Kita terus menghasilkan limbah, tapi kita sering gagal melihat nilainya dan meninggalkan konsekuensi pada lingkungan. Negara-negara ini menunjukkan contoh bagaimana mengubah limbah menjadi harta dapat mencegah plastik menjadi pencemar laut.


Sekarang, mari kita renungkan negara kita sendiri yang di mana populasi massal Indonesia berarti berton-ton sampah telah dihasilkan setiap hari. Bayangkan mengubah limbah itu menjadi sumber daya untuk kepentingan manusia dan planet ini. Ini ide untuk mengawalinya, mengapa tidak menggunakan limbah plastik yang tidak dapat didaur ulang untuk material jalan?

 

Ingin kami menulis masalah tertentu? Tulis di forum kami DI SINI!

 

Sumber

[1] https://www.euractiv.com/section/energy-environment/news/while-global-plastic-production-is-increasing-worldwide-it-is-slowin-down-in-europe

[2] http://large.stanford.edu/courses/2012/ph240/gold1/docs/forbranning_eng.pdf

[3] https://www.nytimes.com/2018/09/21/climate/sweden-garbage-used-for-fuel.html#:~:text=It%20is%20one%20of%20Sweden's,to%2Denergy%E2%80%9D%20power%20plants.&text=About%2049%20percent%20of%20household,that%20burn%20coal%20or%20gas.

[4] https://www.weforum.org/agenda/2017/12/germany-recycles-more-than-any-other-country/

[5] http://www.guiaenvase.com/bases/guiaenvase.nsf/0/950B6ED17881D76EC1256F250063FAD0/$FILE/Article+Green+Dot+_TTZ_+English.pdf?OpenElement

[6] https://www.valpak.co.uk/news-blog/blog/lost-in-translation---what-does-the-green-dot-symbol-really-represent

[7] https://climategamechanger.sg/2020/01/14/saving-semakau-one-islands-role-in-managing-singapores-waste/


Foto


0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page