To read the article in English, click here
Pada tanggal 2 Februari, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa abu batubara seperti Fly Ash, Bottom Ash (FABA) tidak lagi menjadi produk limbah beracun meskipun mengandung merkuri, timbal, dan arsenik. Akibatnya, langkah ini menuai kegusaran dari para aktivis lingkungan di seluruh Indonesia [1].
Sumber: S. Hermann & F. Richter [14]
Apa yang dimaksud dengan Fly Ash dan Bottom Ash?
Fly Ash dan Bottom Ash adalah produk yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Fly Ash adalah partikel yang sangat kecil yang kemudian masuk ke udara, sedangkan Bottom Ash jatuh ke tanah dikarenakan partikelnya terlalu besar untuk terbawa ke dalam tumpukan asap [2]. Secara bersamaan, mereka dikenal sebagai FABA, dan mengandung zat berbahaya yang dapat mencemari udara dan air tanah jika tidak dikelola dengan benar.
Penelitian telah menunjukkan bahwa FABA dapat menyebabkan kanker, penyakit paru-paru, penyakit pernafasan, kerusakan jantung, penyakit ginjal, masalah reproduksi, dampak sistem saraf, dan lain sebagainya [3].
Sumber: Ash in Lung, earthjustice [15]
Kenapa menghapus FABA dari Limbah B3 jika berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan kita?
Menurut Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), menyatakan bahwa material FABA yang menggunakan teknologi Pulverized Coal (PC) atau Chain Grate Stoker diklasifikasikan tidak berbahaya dan penghasil abu batubara tersebut harus mematuhi peraturan lingkungan yang ada [4].
Haryadi Sukamdani, Ketua Umum APINDO, juga menyambut baik keputusan pencabutan abu batubara dari limbah B3 karena dapat digunakan kembali dan memiliki nilai ekonomis [5]. Abu batubaru umumnya dapat digunakan kembali untuk pengaplikasian dalam teknik sipil seperti semen, konstruksi jalan, dll. Selain itu dapat juga digunakan kembali dalam pembuatan keramik kaca, pertanian, serta membuat produk bernilai tinggi lainnya dan mengurangi jejak karbon [6].
Alasan kuat lainnya adalah korupsi. Sebagai tambahan, regulasi yang dikeluarkan pada penghapusan FABA didukung oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Indonesia. Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua KPK, menyatakan pengategorian FABA dalam limbah B3 berpotensi meningkatkan resiko korupsi akibat mahalnya biaya pengelolaan FABA [7].
Meskipun demikian, Rosa menegaskan bahwa penghapusan FABA dari daftar limbah B3 didukung oleh kajian ilmu pengetahuan daripada tingginya biaya pengelolaan FABA, mengutip bahwa banyak negara telah menghapus FABA dari daftar limbah B3 seperti Jepang, Cina, Amerika Serikat, dan negara lainnya di Uni Eropa (UE) [8].
Dan tidak, Aktivis Lingkungan tidak menerima itu
Para aktivis lingkungan berpendapat bahwa menghapus FABA dari daftar limbah B3 dapat merusak lingkungan dan kesejahteraan rakyat, terutama warga yang tinggal di sekitar PLTU, mengingat paparan tersebut dapat menyebabkan silikosis dan penyakit pernapasan seperti Coal Worker Pneumoconiosis (CWP) [9]. Berdasarkan laporan Bappenas, FABA merupakan limbah paling berbahaya pada tahun 2019, di mana Bottom Ash mendapatkan 13 dari skala 14, sedangkan Fly Ash dengan skor 11 dari skala 14 dalam segi tingkat bahaya [10].
Selain itu, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL} mengkritik pemerintah atas kurangnya pertimbangan dalam tingkat pencemaran yang ditimbulkan dari berlakunya regulasi tersebut, karena setelah tergolong menjadi limbah tidak berbahaya (non-B3), abu batubara tidak dilakukan pengujian terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan [11].
Egi Primayoga, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), juga menegaskan bahwa kajian yang dilakukan oleh KPK tidak holistik. Potensi kesenjangan kasus korupsi pada industri hulu batubara masih akan terjadi selama tidak ada regulasi dan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Beliau merincikan bahwa celah korupsi atau penyelewengan masih akan merajalela, mulai dari proses perizinan lahan hingga eksploitasi batubara [12]. Lebih buruk lagi, penghasil abu batubara berkemungkinan tidak akan bertanggung jawab atas pengelolaan yang tidak tepat karena abu batubara sudah tidak lagi menjadi limbah B3 [13].
Kunjungi forum kami untuk bertanya mengenai lingkungan berkelanjutan!
Sumber:
Foto:
Comentarios