To read this article in English, click here
Indonesia telah menargetkan penggunaan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Namun progresnya berangsur lamban dan waktu terus berjalan.
Source: Zbynek Burival [11]
Perubahan Iklim sudah menjadi permasalahan yang terlalu besar untuk diabaikan, dan Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29-41% pada tahun 2030 sebagai salah satu solusinya [1]. Indonesia mengincar energi terbarukan dan berjanji akan mencapai penggunaan energi terbarukan sebesar 23% pada 2025.
Namun, menurut Indeks Daya Tarik Investasi EBT 2019 (Renewable Energy Country Attractiveness/RECAI), Indonesia menduduki posisi ke-38 dari 40 negara, dengan tiga negara Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam menduduki posisi di atas Indonesia [2]. Yang menjadi pertanyaan adalah apa alasan di balik transisi yang lambat ini?
Kemauan dan Komitmen Politik
Menurut Agus Sari, ahli lingkungan dan dosen di ITB, industri batu bara memiliki rantai pasokan yang lebih lama dan menguntungkan bagi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pejabat pemerintah sehingga dapat dimengerti mengapa mereka mungkin merasa ragu-ragu terhadap energi terbarukan [3].
Selain itu, menurut Penilaian Transisi Energi (Energy Transition Assessment) pada Indonesia Energy Transition Outlook 2021 oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), transisi ke energi terbarukan akan memerlukan dana yang cukup besar yang dapat digunakan untuk sektor lain yang mungkin dianggap lebih mendesak oleh pemerintah [4].
Investasi dan Keuangan
Pendanaan merupakan masalah lain. Untuk mencapai target penggunaan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, Indonesia membutuhkan investasi sebanyak Rp 2.000 triliun [5].
Sebagai sub-sektor Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana mengakui tingginya bunga pinjaman, persyaratan agunan yang tinggi, dan skema BOOT (build, own, operate and transfer) dalam perjanjian jual-beli listrik membuat pengalokasian investasi menjadi sulit [6].
Dengan kata lain, Indonesia membutuhkan pembiayaan swasta, namun calon investor dan bank pemberi pinjaman enggan karena ketidakpastian peraturan dan kebijakan yang kurang jelas [7].
Penggunaan Lahan
Membangun fasilitas energi terbarukan memerlukan lahan yang besar dan proses akuisisi lahan di Indonesia memakan waktu yang lama. Yang menjadi fokus utama bagi Pemerintah Indonesia adalah memastikan bahwa pembangunan fasilitas energi terbarukan dapat dilakukan tanpa menggusur masyarakat lokal dan mengancam mata pencaharian mereka [8].
Ketergantungan atas Bahan Bakar Fosil
Masalah terakhir terletak pada cadangan batu bara Indonesia yang sangat besar. Ketersediaan batubara tidak hanya berlimpah tetapi juga murah, dan mengingat betapa melekatnya dan kuatnya industri bahan bakar fosil ini, membuat energi terbarukan semakin sulit bersaing di pasar [9].
Terlepas dari semua ini, permintaan energi terbarukan mencapai titik tertinggi sepanjang masa. Dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia berpotensi menjadi negara terdepan di bidang energi terbarukan. Tetapi dengan polusi udara, perubahan iklim dan pemadaman listrik, transisi ke energi terbarukan adalah masa depan yang tak terhindarkan.
“Energi terbarukan menawarkan begitu banyak manfaat, mulai dari membersihkan udara dan mengurangi polusi, hingga menurunkan harga dan melepaskan kita dari lonjakan harga bahan bakar fosil yang merusak.” – Marty Spitzer, Director for US Climate and Renewable Energy Policy, WWF [10]
Kunjungi forum kami jika punya pertanyaan tentang energi hijau!
Sumber:
[3]https://theconversation.com/politik-dan-pandemi-buyarkan-mimpi-energi-terbarukan-indonesia-153891
Foto:
Comentarios